Prolog : Cerita ini berdasarkan atas fakta dan tidak ada rekayasa, jika ada kesamaan tokoh, lokasi & kejadian, hal itu memang bener ada terjadi, bukan dari rekayasa keluarga besar “Tak ada akar Raam Punjabi.”
Cerita pertama
Hari minggu lalu saat saya berangkat ke gereja ada hal yang sangat bikin saya kaget bukan kepalang, apa itu? Ketemu “malaikat” cantik? Sayangnya bukan. Rekening bertambah 12 digit? Ah kalo itu juga bukan. Saat diperjalanan ke gereja, sekitar 3 kilometer dari gereja mata saya tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing lagi. Ternyata dia tukang bubur kacang ijo langganan saya. Ya saya memang biasa sarapan bubur sebelum ibadah, karena biasanya saya sampai setengah jam sebelum ibadah jadi msh ada waktu untuk bikin kenyang cacing-cacing di perut saya. Sesampainya di gereja saya kearah atm untuk membayar perpuluhan, setelah itu mencari tukang koran untuk beli Kompas. Kira-kira 20 menit setelah saya sampai di gereja akhirnya datanglah si abang tukang bubur. Sambil tersenyum saya bilang “kang, biasa, hiji didieu”. Saya pun nanya ke dia “tadi dari mana kang? Saya lihat dari bawah”. Terus jawabnya “Oh saya memang biasa dari sana dulu mas jualan, habis itu baru kearah sini”. Saya dalam hati “Wah hebat juga ya orang ini, dorong gerobak 3 kilo jalannya nanjak lagi”. Saya pribadi kalau disuruh jalan kaki 3 km pasti mikir-mikir, apalagi ditambah dorong gerobak yang berat. Oya jarak 3 km itu klo di Bandung, kira-kira dari BIP ke Simpang Dago atau kalau di Jakarta dari Semanggi ke Senci kali ya.
Lalu saya menghabiskan bubur sambil baca sekilas Kompas hari itu. Akhirnya cacing-cacing diperut saya pun berhenti melakukan kudeta. Lalu saya pun membayar sembari mengucapkan “hatur nuhun kang”. Belum dua langkah saya berbalik badan kearah gereja, si abang bubur memanggil saya “mas ini duitnya kelebihan seribu”. Oh, saya lupa, karena terbiasa menyediakan 4 lembar duit pecahan seribu untuk beli Kompas (harga eceran Rp 3500) maka saya pun membayar bubur (yang harganya Rp 3000) dengan jumlah duit yang sama. Saya berjalan kearah gereja sambil berpikir “Ternyata masih ada orang jujur, mungkin dia tidak pernah membayangkan dapat duit Rp 100 miliar seperti yang dimiliki oleh Gayus Tambunan, tapi bagi dia duit Rp 1000 pun tidak bisa membeli karakter dan integritas dia”. “Shalom” Seorang Bapak menyambut saya hangat di depan gereja. Loh, udah sampai gereja toh, ah saya sampai lupa berterimakasih ke dia atas kejujurannya.
“Integrity is doing the right thing, even if nobody is watching.” – Anonymous
Cerita kedua
Kisah ini terjadi sekitar 2 bulan yang lalu. Malam itu saya ada di kamar sedang mengecek email. Karena saya ingat belum makan malam, akhirnya saya mencari piring untuk makan malam. Ketika kembali kekamar saya melihat bungkus makanan saya terbuka dan daging ayam serta ikan teri saya berceceran di lantai dan ternyata ada tersangka seekor kucing didekat situ. Aaaarrrggghhhhh !@#$%^&*()_+ makan malam saya digondol kucing!! Kurang Ajarrrrrrr!! Saya pun berlari mengejar si kucing sembari berharap kalau ditangkap kucing ini akan saya jadikan sate kucing! Tapi sayangnya saya gagal menangkap Felix The Cat yang satu ini, dia terlalu lincah dan gesit dibandingkan saya yang lamban karena sudah jarang berolahraga. Akhirnya saya terdiam lalu membersihkan bekas makanan yang tercecer dilantai serta membuang sisa nasi dan lauk pauknya ke tempat sampah. Kesal sekali rasanya. “Ah malam ini tampaknya saya memperkaya keluarga Salim atau Katuari lagi nih” pikir saya. Semua gara-gara kucing pencuri itu.
Eh tunggu, gara-gara kucing? Lho, bukankah saya sendiri yang membiarkan pintu kamar saya terbuka sehingga kucing bisa menerobos masuk? Bukannya kalau saya menutup pintu kamar saat mencari piring kucing tidak bisa masuk kekamar saya? Jadi salah saya dong sebenarnya? Saya pun tersenyum-senyum sendiri. Saya ini manusiawi sekali, dengan mudahnya menunjuk pihak lain sebagai penyebab kesalahan saya. Padahal jelas sekali, yang buat kesalahan itu saya, bukan si kucing. Entah kenapa saat terdesak jarang ada manusia yang berani bertanggung jawab atas perbuatannya apalagi atas perbuatan orang lain.Karena mencari kambing hitam itu sangat enak, seolah-olah penyebab kesalahan si kambing hitam itu dan kita pun seolah-olah suci dari “dosa”.
Saya memohon maaf atas kesalahan anak buah saya, ini tanggung jawab saya sepenuhnya ujar seorang manajer.
Saya mengundurkan diri karena gagal melindungi dan melayani masyarakat ujar seorang polisi.
Saya gagal menjalankan janji-janji saya kepada rakyat karena itu saya mundur dari posisi ini ujar seorang politikus.
Saya bertanggung jawab atas keteledoran mahasiswa saya ujar seorang dosen.
Saya bertanggung jawab atas kenakalan anak saya ujar seorang ayah.
Saya bertanggung jawab atas kesalahan saya sepenuhnya dan menerima segala konsekuensi atas kesalahan saya ujar seorang anak manusia.
“If you blame others for your failures, do you credit them with your success?” – Anonymous
Epilog : Untuk setiap adegan pada cerita diatas tidak ada binatang atau hewan peliharaan yang disiksa, tidak ada gender bias, motif politik atau bocoran intelijen ala wikileaks dan bebas SARA.
Bersambung ke CERPENUNG BAGIAN 2