One Man for One World (Part 1 Warren Buffett and Bai Fangli)

Salam Sejahtera

Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself

(Leo Tolstoy, Russian Novelist)

Sehabis menonton pertandingan persahabatan antara Indonesia vs Uruguay yang berakhir dengan kekalahan telak Timnas 1-7 saya jadi terinspirasi untuk membuat note ini. Sejujurnya note ini bukan tentang kekecewaan saya atas amburadulnya persepakbolaan Indonesia (walaupun saya sempat “bermimpi” tentang kemenangan Indonesia atas juara keempat PD 2010 ini saat Boaz mencetak gol indahnya). Note saya ini tentang peran sebuah individu (ya, anda dan saya) didalam kehidupan. Kenapa saya tiba-tiba terpikir tentang peran individu? Karena saya merasa ada sesuatu yang “janggal” saat saya menonton pertandingan persahabatan antara Timnas vs Uruguay. Presiden SBY (bersama Menpora Andi Mallarangeng dan Ketua PSSI Nurdin Halid) turun langsung ke lapangan untuk menyalami pemain Timnas dan Uruguay serta wasit dan para asistennya. Ok, saya apresiasi itu sebagai bentuk kehormatan, tetapi setelah bersalaman (dan berfoto bersama) kemudian Presiden dkk kembali ke tempat duduk. Lho, apa yang salah? Ya memang tidak ada yang salah seandainya 3 hari yang lalu tidak terjadi banjir bandang di Wasior, Papua yang sampai saat ini menelan korban meninggal 101 orang! Kenapa SBY tidak memimpin mengheningkan cipta sebagai tanda berduka cita? Seandainya saya orang Indonesia yang kebetulan tinggal di Wasior dan saat ini mengungsi karena banjir, maka betapa senangnya hati saya saat melihat pemimpin saya berkata seperti ini dihadapan puluhan juta rakyat Indonesia: “Sebelum pertandingan ini dimulai, izinkan saya memimpin untuk mengheningkan cipta sejenak untuk menghormati saudara/i kita di Wasior, Papua yang tertimpa bencana dan sehabis pertandingan ini selesai saya langsung terbang ke sana untuk menengok mereka”. Ah indahnya

One man for one world, judul note ini sama dengan alamat blog saya di wordpress. Saat awal saya membuat blog (terima kasih untuk dua sahabat saya Cinta Azwiendasari dan Rudy Nasuha yang mentrigger saya untuk membuat blog) saya bingung untuk membuat judul alamat blog saya, tetapi satu hal, saya selalu punya obsesi “gila” untuk mengubah dunia, ya tentu saja dunia yang lebih baik bukan dunia seperti sekarang ini dimana kemiskinan menjadi pembunuh utama manusia di bumi ini. Maka dari itu saya lalu terpikir untuk membuat sebuah judul yang beridentitas “seseorang yang mengubah dunia” dan eureka! Terciptalah One man for one world (yah saya memakai bahasa Inggris dengan harapan ide2 gila saya mengglobal karena dibaca orang2 dari luar Indonesia, nyatanya hampir semua artikel diblog saya berbahasa Indonesia -_-). Note ini berisikan tentang bagaimana sebuah individu bisa mengubah dunia ini, tapi tentu saja sebelum mengubah dunia, ubahlah diri anda terlebih dahulu 🙂

Ok, pertama mari kita terbang ke Omaha, Nebraska. Kita akan bertegur sapa dengan salah seorang terkaya didunia ini. “Hi, how are you?” Seorang lelaki tua berwajah ramah menyapa saya. Saya menjabat tangannya. Aneh, penampilan orang ini terlalu sederhana untuk ukuran orang terkaya didunia, terlebih rumahnya, sama seperti kebanyakan rumah orang Amerika 30 tahun yang lalu! Ya rumah itu kelihatan sederhana sekali. Saya pun mencuri-curi pandang ke kerah bajunya berharap menemukan sebuah tulisan merek baju yang bisa berharga ribuan dollar AS, tapi saya kecewa karena hanya menemukan merek baju yang biasa di jual di Wal-Mart atau Target. “Blackberry or Apple?” oh ternyata dia menawarkan jus ke saya. Kemudian saya jawab “Apple please”, setelah minum kemudian saya diajak jalan untuk cari makan. Lho? Lho? Lho? Saya tidak salah liat ini? Kenapa hanya ada satu mobil di garasinya, dan itu mobil tua pula, lebih anehnya lagi kenapa dia duduk di belakang setir, tidak adakah sopir pribadi dia? Lamunan saya terputus saat dia berkata “Hey, what are you waiting for? C’mon son”. Kemudian dijalan dia bercerita tentang masa kecilnya, dimana dia berjualan koran dan coke, lalu bagaimana anaknya mengira dia bekerja sebagai tukang ledeng dan bagaimana istrinya “memaksa dia” untuk membuat sebuah rumah peristirahatan bagi keluarganya. Kemudian kami berhenti di sebuah restoran sederhana dan memesan menu lunch masing2, eh? Ga salah ini? Wah saya lagi mimpi atau orang ini yang aneh? Saya sedang berbicara dengan salah satu orang terkaya didunia di salah satu restoran sederhana di Omaha? Mungkin orang ini terlalu pelit untuk mengeluarkan duitnya.

“Hey son, you know what? I think i want to donate 99 percent of my wealth to people” Ufgh, Argh, Uhuk-uhuk, hampir saya tersedak dan menyemburkan makanan yang ada dimulut saya kearah dia. “What?? Pardon me, 99 percent you say sir?” Apa yang ada dikepala orang ini? Saya pribadi saja pasti akan berpikir lebih dari duakali untuk menyumbangkan 99 persen kekayaan saya ke orang lain. Tapi orang ini seperti tanpa beban berkata akan menyumbangkan 99 persen kekayaan dia, bukankah dia telah berpuluh-puluh tahun bekerja keras banting tulang? Tapi dia malah hidup sederhana dan menyumbangkan 99 persen kekayaan dia! Edan rek! Tidak habis pikir saya akan pria ini. Belum habis pusing di kepala saya, lalu dia bercerita akan mengajak salah satu orang terkaya lain yaitu Bill Gates untuk memulai sebuah gerakan menggandeng orang-orang terkaya di AS, Eropa, China, India dan seluruh dunia untuk menyumbangkan minimal setengah kekayaan mereka ke lembaga amal dan donasi, dia akan menamai program itu The Giving Pledge.

Pria itu bernama Warren Buffet dan menurut Forbes, total kekayaan Buffett pada tahun 2010 ini berjumlah US$ 47 miliar atau setara dengan Rp 423 Triliun! Sangat cukup untuk menggaji para anggota dewan yang terhormat berulang-ulang sampai 1000 tahun! Jadi duit rakyat bisa buat pendidikan dan kesehatan gratis selama 1000 tahun 🙂

Dari Omaha, Nebraska, Mari kita berlayar menyeberangi Samudra Pasifik ke arah Barat, ke negeri yang sekarang dibicarakan dimana-mana, negeri yang menolong perekonomian dunia saat krisis, negeri yang sedang belajar menjadi sebuah kekuatan baru ekonomi dan politik di dunia, belom, sayangnya belom Indonesia, tapi RRC. Setelah bersandar di Pearl River Delta, Shenzhen, kita akan melanjutkan melalui jalan darat ke arah sebuah provinsi di tenggara, Tianjin tepatnya. Bukan Hu Jintao Presiden RRC atau Wen Jiaobao PM RRC atau Ren Zhengfei pendiri raksasa telekomunikasi Huawei tapi seorang tukang becak yang akan kita temui, ya anda tidak salah baca, kita akan berkenalan dengan abang becak.

Hei, bukankah note ini tentang pengaruh individu yang mengubah dunia? Lalu apa hebatnya seorang tukang becak di RRC sana?? Apa bedanya dia dengan tukang becak yang mangkal di depan rumah saya???

Tak kenal maka tak sayang kan? Kalau begitu mari kita mengenal dia lebih dekat 🙂

Pria sederhana ini bernama Bai Fangli, hampir setengah hidupnya (56 tahun dari 93 tahun usianya) dia dedikasikan untuk mengayuh becak. Tubuhnya kurus dan kecil, tapi itu tidak menghalangi dia untuk mengayuh becaknya mengantarkan penumpang. Dia sangat disukai penumpang karena murah senyum dan selalu bersemangat dalam mengayuh becaknya. Dia tinggal di sebuah gubuk reot di permukiman kumuh. Gubuk itu bukan punya dia, tapi dia menyewa dari orang lain perhari. Tetangga dia rata-rata berprofesi sebagai pengayuh becak seperti dia, ada juga yang menjadi penjual asongan dan pemulung. Didalam gubuk reot itu hanya terdapat ruang yang sempit untuk Bai Fangli beristirahat, hanya ada kasur lusuh dan piring seng untuk dia makan, sisanya tidak ada barang berarti di gubuk reot itu.

Lho? Apa yang menarik?? Hal-hal itu lumrah terjadi pada kehidupan tukang becak

Ok, mari kita masuk ke bagian terpenting di hidupnya yang mengubah dirinya, saya dan mungkin juga anda 🙂

Pada tahun 1987 saat dia berumur 74 tahun, ada suatu hal yang mengganggu pikiran dia saat dia bekerja. Pada saat itu dia melihat sekelompok anak-anak yang bekerja mengangkut barang-barang. Dan kemudian bertanyalah Bai Fangli ke salah satu anak. “Hei nak, apa yang kau lakukan? Mengapa kau tidak bersekolah?” lalu jawab anak itu “Orangtuaku tidak ada kek, saya harus mencari uang untuk saya dan adik-adik saya” lanjut dia “karena itu saya tidak bersekolah”. Malamnya Bai Fangli terngiang-ngiang kata-kata anak itu, dia melihat dirinya sendiri yang miskin dan berpikir bagaimana mungkin sebuah generasi berubah jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan. Mereka harus memperoleh pendidikan! Itulah tekad Bai Fangli malam itu. Esoknya dia mengayuh becaknya lebih semangat karena dia mempunyai sebuah misi, yaitu membantu anak-anak tersebut bersekolah. Setelah mengayuh becaknya seharian penuh dengan peluh dia kemudian membawa hasil kerjakerasnya dikurangi uang makan dan uang sewa gubuknya ke sebuah sekolah yatim piatu di Tianjin.

Sejak hari itu, tiap hari, 30 hari dalam sebulan, 365 hari dalam setahun, Bai Fangli terus mengayuh becaknya setiap hari untuk menyumbangkan penghasilannya bagi pendidikan. Pada saat pertama dia menyumbangkan uangnya, dia tidak mau menerima tanda terima dan selalu menolak dibuatkan tanda terima. Setiap Renminbi/Yuan yang dia berikan selalu lecek bekas keringat dia, namun pihak sekolah selalu menerimanya dengan senang hati. Suatu hari dia terjatuh dari becaknya dan tangannya terluka, tapi alih-alih berhenti bekerja dan pergi berobat, dia tetap bekerja seperti biasa. Ya, dia sangat keras kepala dalam hal membantu orang. Dalam pikiran dia “Tidak apalah saya seperti ini yang penting anak-anak itu harus tetap bersekolah”

Selama hidupnya Bai Fangli berusia 93 tahun, 56 tahun dia habiskan untuk mengayuh becaknya, 18 tahun terakhir didalam usia dia, tidak pernah tidak, setiap hari dia selalu menyumbangkan semua hasil kerja kerasnya ke pendidikan anak-anak miskin yatim piatu di Tianjin. Bai Fangli meninggal dalam kemiskinan, tetapi selama hidupnya dia sudah menyumbangkan RMB 350.000 (setara dengan Rp 455 juta), dia telah membantu sedikitnya 300 anak miskin untuk bisa memperoleh pendidikan.

Sumber : Bermacam-macam, salah duanya :

http://news.yahoo.com/s/yblog_upshot/20100708/bs_yblog_upshot/buffett-recounts-the-best-advice-hes-ever-received

http://www.fupin.org.cn/en/news/zzy.asp?newsid=711291502197617

Leave a comment